Kronologi DPRD Makzulkan Bupati Jember Faida

Bupati Jember, Faida


Jakarta, CNN Indonesia —  DPRD Kabupaten Jember memakzulkan Bupati Jember, Faida dalam rapat paripurna hak menyatakan pendapat, Rabu (22/7). Seluruh anggota dewan sepakat mengusulkan agar bupati yang diusung Partai NasDem diberhentikan.

Hubungan antara DPRD Jember dan Faida memanas sejak akhir 2019 lalu. Dalam sidang paripurna DPRD pada 23 Desember 2019 lalu, mayoritas atau 44 anggota DPRD Jember sepakat mengajukan hak angket kepada Faida.

Hak angket ini dilayangkan untuk mempertanyakan sejumlah dugaan pelanggaran kebijakan dan sumpah jabatan yang dilakukan oleh Faida.

Di antaranya tidak masuknya Jember dalam kuota penerimaan CPNS 2019 akibat sanksi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi hingga mengabaikan serangkaian teguran, seperti dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) soal mutasi dan pengangkatan sejumlah pejabat di luar mekanisme.

Sejak itu, hubungan antara wakil rakyat Jember dengan Faida tak harmonis.

Koordinator aksi Aliansi Masyarakat Jember (AMJ), Kustiono Musri mengatakan DPRD Jember telah menggunakan hak interpelasi dan hak angket, namun Faida tak melakukan perbaikan. Kustiono menyebut Faida semakin berjalan sendiri dan mengabaikan eksistensi DPRD Jember.

Kustino menyebut Faida juga tak memenuhi syarat DPRD Jeber untuk membahas APBD 2020 dengan mematuhi dan menjalankan terlebih dahulu perubahan SOTK sesuai dengan Surat Mendagri dan Gubernur Jawa Timur. Sehingga Perda APBD 2020 mustahil disepakati bersama.

Di sisi lain, kata Kustino, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan disclaimer terhadap pengelolaan keuangan APBD 2019.

“Makin parah dengan adanya pandemi Covid-19 karena perencanaan anggaran penggunaan APBD yang hanya berdasarkan peraturan bupati praktis tanpa peran DPRD sama sekali, bahkan dewan tidak diberi tembusan terkait dengan anggaran dana COVID-19,” kata Kustino dikutip Antara.

Sidang Pemakzulan

DPRD Jember menggelar sidang paripurna hak menyatakan pendapat kemarin, Rabu (22/7). Namun, Faida tak menghadiri undangan rapat paripurna hak menyatakan pendapat yang digelar di DPRD Jember, Jawa Timur.

Wakil Ketua DPRD Jember, Ahmad Halim mengatakan awalnya Faida menyatakan siap menghadiri rapat paripurna hak menyatakan pendapat melalui media video conference karena pertimbangan beberapa faktor terkait Covid-19.

“Kami sudah menjawab surat tersebut untuk tetap meminta kehadiran Bupati Faida secara langsung dalam rapat paripurna karena sebelumnya Bupati Jember Faida juga hadir dalam rapat paripurna LKPJ,” kata Ahmad seperti dikutip dari Antara.

Namun, Ahmad menyebut 45 anggota DPRD Jember menolak usulan video conference Faida. Mereka meminta Faida hadir secara fisik di Gedung DPRD Jember.

“Untuk itu, kami meminta operator segera mematikan siaran langsung secara daring karena peserta rapat paripurna hak menyatakan pendapat menyetujui rapat secara tatap muka di DPRD Jember,” kata Ahmad.

Menurut Ahmad, sesuai hasil rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Jember rapat paripurna hak menyatakan pendapat digelar secara langsung. Sehingga pihaknya tak bisa menerima usulan Faida menggelar rapat secara daring.

Terpisah, Faida mengatakan pihaknya sudah mengirim surat kepada Ketua DPRD Jember, Itqon Syauqi dengan menyampaikan beberapa pertimbangan menghadiri rapat paripurna hak menyatakan pendapat secara virtual.

“Apabila bupati hadir secara langsung dalam rapat paripurna hak menyatakan pendapat DPRD, maka dikhawatirkan akan membuat banyak warga yang datang baik yang mendukung atau menolak penggunaan hak menyatakan pendapat,” kata Faida dalam surat tertulisnya kepada dewan.

Menurutnya, kehadiran massa dalam jumlah banyak dalam satu tempat di tengah pandemi dapat berpotensi menyebabkan penularan virus corona. Selain itu juga sulit untuk memastikan protokol kesehatan dapat dilakukan saat warga berkumpul dalam jumlah yang besar.

Faida menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota tidak melarang kepala daerah memberikan pendapat melalui aplikasi daring.

Ia menyatakan penyampaian pendapat kepala daerah secara daring sama sekali tidak akan menyebabkan rapat paripurna DPRD menjadi tidak sah. Faida pun mengirimkan jawaban secara tertulis pendapatnya perihal usul hak menyatakan pendapat DPRD Jember sebanyak 21 halaman.

Dalam surat jawaban itu, ada tiga poin yang disampaikan Faida yakni perihal konsekuensi hasil rapat koordinasi dan asistensi penyelesaian permasalahan pemerintahan di Jember yang melibatkan kepala daerah dan DPRD.

Kemudian pemenuhan aspek prosedural/aspek formil usul hak menyatakan pendapat oleh DPRD Jember, dan pendapat bupati Jember perihal materi yang menjadi alasan pengajuan hak menyatakan pendapat DPRD Jember.

Faida menyebut hak menyatakan pendapat diatur dalam Pasal 78 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota.

Bleid tersebut tertulis pengusulan hak menyatakan pendapat disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit, materi dan alasan pengajuan usulan pendapat serta materi hasil pelaksanaan hak interpelasi dan atau hak angket.

“Surat DPRD Jember yang kami terima tak memiliki lampiran dokumen materi dan alasan pengajuan usulan pendapat seperti yang diatur dalam aturan tersebut,” ujarnya.

Faida juga mengaku telah melakukan semua rekomendasi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan mencabut belasan keputusan bupati dan mengembalikan para pejabat yang diangkat dalam jabatan pada 3 Januari 2018.

Meskipun demikian, DPRD Jember telah mengambil keputusan bulat. Para anggota dewan itu sepakat meminta Faida berhenti dari jabatannya. DPRD Jember menilai Faida telah melanggar sumpah jabatan dan peraturan perundang-undangan.

“Sehingga DPRD bersikap melalui hak menyatakan pendapat kompak bahwa bupati dimakzulkan,” ujar Ketua DPRD Jember, Itqon Syauqi usai rapat paripurna hak menyatakan pendapat di DPRD Jember.

Politikus PKB Jember itu menyadari DPRD secara administratif tidak bisa memberhentikan bupati. Menurutnya yang bisa memecat adalah Menteri Dalam Negeri melalui fatwa Mahkamah Agung.

“Kami akan meminta fatwa kepada Mahkamah Agung, sehingga kami akan meminta fatwa MA terkait keputusan paripurna itu,” katanya.

Sumber: CNN Indonesia